Kaitan Agama & Masyarakat dapat
dibuktikan dengan adanya pengetahuan agama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, figur
Nabi, pemahaman religi yang memperkuat adanya Tuhan yang Maha Esa.
1. Apa
yang menjadi fungsi agama dalam masyarakat
2. Bagaimana
menjaga harmonisasi antar umat beragama di Indonesia
3. Bagaimana
penerapan nilai-nilai, norma-norma keagamaan agar mampu mendorong pola fikir
manusia (masyarakat) agar terhindar dari perbuatan tercela seperti melakukan
tindak korupsi, menyakiti sesama misalnya dengan menyebar fitnah, minum yang
beralkohol atau narkoba
4. Menurut
anda bagaimana Agama dapat menyatukan visi misi mempertahankan persatuan dan
kesatuan bangsa
1.
Agama merupakan salah satu prinsip yang
(harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan
mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun
kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau
dilihat dari secara kelompok atau masyarakat, bagaimana kita memahami agama
tersebut dalam kehidupan masyarakat?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama merupakan ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Ini
dapat didefinisikan sebagai agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai
agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Harun
Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi
kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan
bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Prof. Dr.
H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu kita memahami beberapa
fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:
1. Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran agama secara yuridis
(hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar
pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan
yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
2. Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia berada, dia
selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama
meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama
Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme
(ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak
bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya
bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif
(pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai
rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah
terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi
agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana
keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai
dengan terbuka dan jujur serta setara.
3. Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan agama
seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin
dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka
harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
4. Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya
makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan,
keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk
tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan
yang ada.
5. Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara
serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar
"Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
6. Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah
kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi
ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan
moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7. Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang dan mendorong
fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif
bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
8. Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran
agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi,
melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu
adalah ibadah.
2.
Menciptakan kerukunan umat beragama
baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh
warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan, dan
ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuh
kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling
percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.
Dalam hal ini
untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Saling
tenggang rasa, menghargai, dan
toleransi antar
umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3. Melaksanakan
ibadah sesuai agamanya
4. Mematuhi
peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan
Negara atau Pemerintah.
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi
antar umat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam
pembahasan sebelumnya upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup
umat beragama, tidak boleh
memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut
hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang
berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal
itu.
3. Pada
dasarnya manusia dalam kehidupannya tidak bisa hidup dengan seenaknya sendiri,
karena dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai aturan, dimana
aturan-aturan tersebut sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang sesuai
dengan kaidah yang berlaku di masyarakat. Sehingga manusia atau individu yang
memiliki moral baik, dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan
kaidah-kaidah moral dalam bersosialisasi di kehidupan masyarakat mempunyai
alasan pokok, yaitu salah satunya untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai
individu. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan tingkah lakunya
yang tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah sosial yang terdapat dalam
masyarakat, maka dimanapun ia hidup, ia tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Kita berharap bahwa individu yang mempunyai moral baik kemungkinan dapat
mempengaruhi karakter moral masyarakat secara keseluruhan. Hanya manusialah
yang dapat menghayati norma-norma, serta nilai-nilai dalam kehidupannya
sehingga manusia dapat menetapkan tingkah laku yang baik dan bersifat susila.
4. Dalam negara kita, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di daerah kita terdapat
beberapa jenis agama yang berbeda. Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan
yang ada dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut
agama yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling
belajar, saling menimbah serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai
keagamaan dan keimanan masing-masing.
Perbedaan tidak perlu
dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong,
bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum beriman dan penganut agama
yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai selalu,
bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi.
Namun dalam sejarah kehidupan umat
beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan
sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Di banyak tempat,
termasuk di Maluku, telah terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan
banyak korban manusia dan harta benda, serta menghancurkan sendi-sendi
kehidupan di pelbagai bidang, di lingkungan kita. Unsur-unsur keagamaan
dijadikan sebagai pemicu dan sasaran penghancuran dalam konflik tersebut.
Menurut pemahaman teoritis dan
pengakuan “oral” banyak pihak, agama bukan dan tidak boleh dipandang serta
dijadikan sebagai pemicu konflik dan perpecahan, melainkan adalah dan harus
dipandang serta dijadikan sebagai penunjang perdamaian dan persatuan. Namun
kenyataannya dalam perilaku atau tindakan orang-orang tertentu, entah dengan
sengaja atau tidak, agama dipakai sebagai pemicu konflik dan perpecahan.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang
menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh
hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan
orang yang berbeda agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan
orang-orang yang beragama lain.
Maka kita perlu memberi perhatian
khusus pada permasalahan yang ada, mendalami serta mengupayakan langkah-langkah
penyelesaian maupun antisipatif. Perlu diupayakan peningkatan akan
pemahaman, penghayanan, implementasi dan pelestarian akan :
1. wawasan kebangsaan kita seperti tersurat dan tersirat
dalam falsafah bangsa seperti : “Bhineka Tunggal Ika”, “Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh”, maupun kearifan-kearifan lokal seperti “pela”
dan “gandong”, “ain ni ain” (Kei = satu punya satu), dll;
2. kekeluargaan dan persaudaraan
sejati antar
suku, ras, golongan, daerah dan agama;
3. kerukunan dan toleransi antar umat beragama maupun
suku, ras dan golongan.
Untuk itu kita perlu upaya
pengkajian dan pemahaman tentang inti permasalahan kita dan sebab-musebabnya,
tatacara mengatasi dan mencegahnya, serta dasar pijak dan pedoman arah dari
langkah kita.
SEBAB
KONFLIK YANG BERKAITAN DENGAN AGAMA
SERTA CARA MENGATASI DAN MENCEGAHNYA
Fakta bahwa ada konflik dan
kekerasan maupun perpecahan dan penghancuran yang berkaitan dengan agama disebabkan
karena :
- Perbedaan yang ada salah dipahami dan salah disikapi, dan tidak dilihat dan ditanggapi secara positif serta tidak dikelola dengan baik dalam konteks kemajemukan.
- Fanatisme yang salah. Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau “menang sendiri”, tidak mau menghargai, mengakui dan menerima keberadaan serta kebenaran agama dan umat beragama yang lain.
- Umat beragama yang fanatik (secara negatif) dan yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya :
- kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya;
- kurang memahami dan menghidupi agamanya secara lengkap, benar, mendalam;
- kurang matang imannya dan takwanya;
- kurang memahami dan menghargai agama lain serta umat beragama lain;
- kurang memahami dan menghargai hakekat dan martabat manusia;
- kurang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang universal, terutama hati nurani dan cinta kasih;
- kurang memahami dan menghidupi wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan yang khas Indonesia, yakni kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Oleh sebab itu permasalahan yang
timbul, ataupun yang dikhawatirkan akan timbul, dapat diatasi atau dicegah
dengan upaya peningkatan pemahaman dan implementasi yang memadai dari
kekurangan-kekurangan tersebut, terutama peningkatan kwalitas iman dan
takwa, hati nurani dan cinta kasih. Hal ini dapat dilaksanakan dengan:
1. Mengembangkan
Dialog atau komunikasi timbal balik, yang
dilandaskan pada kesadaran akan :
2. Adanya kesamaan maupun perbedaan
yang tak dapat diingkari dan disingkirkan, sesuai hakekat atau harkat dan
martabat manusia;
3. adanya kesamaan nilai-nilai serta
permasalahan dan kebutuhan yang universal, yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti kebenaran,
keadilan, HAM, persaudaraan dan cinta kasih.
4. Adanya fakta kehidupan bersama dalam
kemajemukan serta hubungan dan ketergantungan satu sama lain.
5. Mutlak perlunya kerukunan dan damai
sejahtera, persatuan dan kerjasama dengan prinsip keadilan, saling
menguntungkan, saling menghargai, saling terbuka dan saling percaya.
6. Mengevaluasi
dan memperbaiki
sistem dan bobot pendidikan dan pembinaan, baik yang
khas keagamaan maupun yang bukan khas atau yang bersifat umum, untuk menambah pengetahuan, mematangkan iman,
meningkatkan moral dan spiritual, memantapkan kepribadian